Revisi UU KPK Tertunda, Deadline 30 September - News Today

Breaking

Kamis, 12 September 2019

Revisi UU KPK Tertunda, Deadline 30 September

News Indonesia - Rentang waktu 30 September jelas waktu yang begitu singkat bagi DPR untuk mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terlebih, hingga kemarin belum muncul pula naskah akademik terkait perubahan beberapa pasal yang diinginkan wakil rakyat di Senayan Jakarta itu.

Nah, deadline yang begitu pendek ini pun, menjadi alasan realisitis bagi Presiden Joko Widodo untuk menunda penyerahan Surpres (Surat Presiden) yang bisa berimplikasi pembatalan revisi UU KPK yang terus menuai kontroversi. Apalagi Daftar Isian Masalah (DIM) yang disodorkan DPR, baru sampai ke meja Presiden.

“DIM-nya baru saya terima (kemarin, red) ya. Nanti dipelajari. Dipelajari mendalam sebelum menyampaikan keputusan,” tandas Presiden menjawab pertanyaan wartawan usai menghadiri Pembukaan The 37th Conference ASEAN Federation of Engineering Organizations (CAFEO37), di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta, kemarin (11/9).

Lagi-lagi dengan sangat jelas, Presiden akan mempelajari DIM yang dimaksud. “Lho kan baru dilihat, nanti baru disampaikan kenapa ini ya, kenapa ini tidak. Karena tentu ada yang setuju dan ada yang tidak setuju,” timpalnya.

Intinya, lanjut Presiden, jangan sampai ada pembatasan-pembatasan yang tidak perlu sehingga independensi KPK jadi terganggu. Karena itu. “Sudah mulai hari dipelajari secara maraton dan meminta pendapat dari para pakar dan kementerian. Agar saya punya gambaran. Sebelum DIM diterima,” ungkapnya.

Saat ditanya apakah pembahasan Revisi UU KPK itu bisa diselesaikan oleh DPR RI yang akan berakhir masa tugasnya 30 September ini, Presiden Jokowi menyerahkannya kepada DPR. “Itu urusan DPR,” pungkas Presiden Jokowi.

Lihat Juga : Cegah Gigi Berlubang dengan…

Terpisah, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo berharap agar Presiden Joko Widodo tidak menyetujui pembahasan revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Harapan kami seperti itu, presiden punya waktu 60 hari (untuk menyetujui atau tidak dan berkirim surat ke DPR). Dan saya sangat berharap mendengarkan para ahli baik yang di perguruan tinggi atau yang di luar perguruan tinggi,” kata dia.

KPK menolak revisi tersebut kata dia karena rencana tersebut belum tepat kalau diaplikasikan saat ini, apalagi masa jabatan legislator periode 2014-2019 akan berakhir 30 September 2019 mendatang.

Dengan waktu yang terbatas seperti itu menurut dia, sulit untuk mewujudkan Komisi Pemberantasan Korupsi yang lebih baik jika revisi tetap dipaksakan. “Artinya 30 September harus selesai, itu kan tidak mungkin kita kemudian bisa berdiskusi (soal revisi), berbicara dengan banyak pihak bagaimana KPK ke depan lebih baik,” kata dia.

“Penolakan revisi tersebut terus mengalir. Agus itu juga mendapat dukungan dari mahasiswa BEM UGM. BEM Keluarga Mahasiswa UGM juga menyerahkan satu jilid yang berisi analisa dan kajian dari alasan menolak revisi UU KPK ke Agus Rahardjo. Sekali lagi kebijakan ada di tangan presiden. Kita serahakan sepenuhnya. Pasti beliau mempertimbangkan hal-hal yang sangat realistis dan diterima publik,” pungkas Agus.

Terpisah, pengamat bidang hukum lembaga The Indonesian Institute, Muhammad Aulia Y Guzasiah meminta semua pihak mewaspadai calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mendukung revisi UU KPK inisiatif DPR RI. “Apabila terdapat capim dalam uji kelayakan hari ini yang menyetujui hal itu, tentu patut dicurigai,” kata Aulia.

Dia mengatakan capim yang menyetujui poin-poin revisi UU KPK tidak hanya memperlihatkan dukungan untuk melemahkan agenda pemberantasan korupsi ke depan, namun juga seolah menyiratkan sinyalemen transaksional untuk mendorong posisi KPK semakin berada di ujung tanduk.

Dia mengatakan salah satu poin revisi UU KPK yang mengemuka yakni terkait pengawasan dan pembatasan penyadapan lembaga antirasuah. Poin itu selama ini selalu menjadi sasaran utama untuk memperlemah upaya pemberantasan korupsi.

“Publik jelas menolak wacana ini. Sebab jika diperhatikan dari draf revisi KPK yang mencuat, pengawasan dan pembatasan itu harus melalui izin dewan pengawas, yang lucunya ke depan akan dipilih dan bertanggung jawab ke DPR,” kata dia lagi.

Dia menekankan pola pelemahan tersebut sangat terlihat sistematis, sebab dengan demikian agenda pemberantasan korupsi tidak lagi dilakukan secara independen dan merdeka dari pengaruh kekuasaan apa pun.

“Sebab tidak menutup kemungkinan, penyadapan kasus korupsi seketika menemui hambatan apabila kasusnya berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan institusi DPR itu sendiri,” ujar dia.

Terlebih, kata dia, jika hal itu dikaitkan dengan upaya lain dalam RUU KPK yang mencoba untuk mendudukkan KPK di bawah eksekutif. Jika KPK berada di bawah eksekutif, maka pengusutan kasus korupsi, menurutnya, seketika akan terbentur dan dapat dihalangi dengan hak angket yang dimiliki oleh DPR.

“Dengan demikian, KPK ke depan tidak hanya akan terjatuh dari tangga, namun juga akan ditimpa dengan tangga dalam hal mengusut kasus korupsi,” kata Aulia pula.

Terpisah, Komisi III DPR menggelar uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023 kemarin hingga Kamis (12/9). Pada hari pertama, lima orang Capim KPK yang menjalani uji kelayakan yaitu Nawawi Pamolango, Lili Pintauli Siregar, Sigit Danang Joyo, Nurul Ghufron, dan I Nyoman Wara. Sedangkan, di hari kedua atau Kamis (12/9).

Lima Capim KPK yang akan menjalani uji kelayakan adalah Alexander Marwata, Johanis Tanak, Luthfi Jayadi Kurniawan, Firli Bahuri, dan Roby Arya. Uji kelayakan capim KPK yang berlangsung dua hari tersebut akan berlangsung di Ruang Rapat Komisi III DPR dan dimulai sejak pukul 10.00 WIB hingga 18.30 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar